Hadits Arbain Ke 13 - Hadits Tentang Cinta Dan Kesempurnaan Iman
Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin
Hadits Arbain Ke 13 – Hadits Tentang Cinta Dan Kesempurnaan Iman merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Kajian ini disampaikan pada 1 Rajab 1441 H / 25 Februari 2020 M.
Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi
Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.
Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain Ke 12 – Cara Manajemen Waktu
Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 13 – Hadits Tentang Cinta Dan Kesempurnaan Iman
Melanjutkan kajian kita, beranjak ke nomor 13 yaitu hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
“Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu yang merupakan salah satu sahabat yang mulia. Beliau adalah salah satu orang terdekat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena beliau adalah pembantunya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau karenanya menjadi salah satu sahabat dengan riwayat hadits paling banyak. Dan beliau didoakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam doa yang masyhur:
اللهم أكثر ماله وولده وأدخله الجنة
“Ya Allah perbanyaklah hartanya, perbanyaklah anak-anaknya dan masukkanlah dia kedalam surga.”
Maka buah yang ditanam oleh Anas bin Malik Radhiyllahu ‘Anhu berbuah dua kali dalam setahun ketika pohon buah orang lain hanya berbuah satu kali saja. Kemudian Anas bin Malik memiliki anak-anak yang sangat banyak. Bahkan dengan kedua tangan beliau, beliau menguburkan sekitar 125 orang dan mengenai doa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini beliau mengatakan, “Saya telah melihat dua dari tiga doa tersebut di dunia. Dan saya sedang menunggu yang ketiga.”
Jadi yang pertama doa tentang banyaknya harta, sudah beliau rasakan. Doa tentang banyaknya anak-anak juga telah beliau rasakan. Dan beliau tinggal menunggu satu lagi yaitu doa dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar beliau bisa masuk surga. Dan insyaAllah beliau akan mendapatkan itu juga. Beliau wafat pada tahun 93 Hijriyah. Dan diberikan umur yang cukup panjang -semoga Allah meridhai beliau-
Dalam hadits ini beliau meriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
“Tidaklah beriman seseorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” Terjemah leterleknya seperti ini, nanti kita akan tafsirkan apa arti iman yang dinafikan di sini.
Ini adalah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Dan hadits ini ditafsirkan oleh riwayat Ahmad yang bunyinya:
لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ
“Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat iman (iman yang sesungguhnya) sampai dia mencintai untuk manusia apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.” (HR. Ahmad)
Jadi, yang dimaksud iman yang dinafikan dalam hadits riwayat (redasi) Al-Bukhari dan Muslim adalah kesempurnaan iman. Sehingga hadits ini bisa kita tafsirkan dengan mengatakan, “Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.”
Jadi yang dinafikan adalah kesempurnaan iman, bukan pokok iman. Artinya kalau sampai ada di antara kita yang belum sampai derajat/tingkat ini, masih tidak mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri, maka berarti orang tersebut tidak serta merta menjadi kafir. Karena yang dinafikan bukan pokok iman. Yang dinafikan adalah kesempurnaan iman. Namun kesempurnaan iman yang dimaksud adalah kesempurnaan iman yang wajib. Sebagaimana disebutkan dengan tegas oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Hafidzahullahu Ta’ala dalam Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in. Jadi yang dinafikan adalah kesempurnaan iman yang wajib. Artinya kalau kita belum sampai derajat ini, kalau kita masih belum mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri, maka berarti ada yang kurang dengan iman kita. Bahkan sebagian ulama mengatakan berarti kita masih berdosa. Maka wajib bagi setiap muslim untuk mencintai bagi saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.
Kita wajib melakukan ini karena ini adalah kewajiban dalam Islam. Kalau tidak maka berkurang dari kita kesempurnaan iman yang wajib, berarti masih kurang iman kita. Dan mencintai di sini adalah amalan hati. Jadi yang wajib bagi kita adalah mengamalkan -dalam hal ini- dalam hati kita yaitu ketika kita mendapatkan kebaikan (baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat) maka kita harus mencintai hal itu juga untuk saudara kita. Kita mengharapkan agar orang lain juga bisa merasakan kebaikan itu. Kita berharap orang lain juga bisa merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kita dapatkan. Ini artinya adalah mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri. Bbukan berarti kita harus memberikan apa yang kita miliki kepada mereka, bukan itu yang menjadi kewajiban. Yang menjadi kewajiban kita adalah amalan hati. Bahwasannya ketika kita -misalnya- memiliki ilmu agama yang bermanfaat, maka kita berharap saudara kita yang lain juga bisa merasakan ilmu itu.
Ketika kita mendapatkan sebuah nikmat duniawi, maka kita juga senang kalau seandainya saudara kita mendapatkan nikmat itu juga. Ini yang menjadi kewajiban kita. Tidak berarti kalau kita punya mobil, berarti kita harus memberikannya kepada saudara kita. Atau kalau kita punya uang yang banyak kita harus membaginya dengan saudara kita. Itu baik, tapi itu bukan suatu kewajiban dan itu bukan yang dimaksudkan oleh hadits ini.
Yang penting adalah mengolah hati kita karena ini adalah amalan hati, kita mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri. Dan kita juga membenci untuk saudara kita apa yang kita benci untuk diri kita sendiri. Kita senang kalau dihormati, kita senang kalau dihargai, maka kita juga harus menghargai orang lain dan menghormati mereka. Kita tidak suka untuk didzalimi, tidak suka untuk direndahkan, maka kita tidak boleh pula untuk mendzalimi dan merendahkan orang lain. Ini adalah makna dari hadits ini.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafsirkan hadits yang agung ini dengan beberapa hadits yang lain. Diantaranya adalah hadits riwayat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ ، وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin dihindarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ajal menjemput dia dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dia mendatangi manusia dengan cara yang dia suka kalau manusia mendatangi dia dengan cara itu.” (HR. Muslim)
Jadi kalau kita ingin dihindarkan dari api neraka dan dimasukkan kedalam surga (ini adalah kemenangan yang sesungguhnya, ini adalah keberuntungan yang sejati), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
“Maka barangsiapa yang dihindarkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka dia sungguh telah menang.” (QS. Ali-Imran[3]: 185)
Ini adalah kemenangan yang sesungguhnya. Bagaimana caranya? Caranya hendaklah kita mempertahankan iman kita sampai kita berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetap beriman kepada Allah dan hari akhir kita pertahankan sampai akhir hayat kita. Harus istiqamah diatas agama ini.
Kemudian hendaklah kita mendatangi manusia dengan cara yang kita suka kalau orang-orang mendatangi kita dengan cara itu. Artinya kita memperlakukan mereka dengan cara yang baik, sebagaimana kita suka kalau orang-orang memperlakukan kita dengan cara yang baik pula. Kita pergauli manusia cara dan akhlak yang baik. Kita perlakukan mereka dengan cara yang kita sukai kalau seandainya orang-orang itu memperlakukan kita dengan cara itu.
Maka ini sesuai apa yang disampaikan di depan. Tidaklah sempurna iman seseorang sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. Kita semuanya ingin diperlakukan dengan baik. Berarti manusia juga seperti itu, orang lain juga seperti itu. Maka hendaknya kita mencintai untuk mereka apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri. Kalau kita ingin diperlakukan dengan baik, hendaknya kita memperlakukan manusia dengan cara yang baik pula.
Dalam hadits riwayat Muslim yang lain, dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu beliau meriwayatkan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada saya:
يا أبا ذَرّ،إنِّي أَرَاك ضعِيفًا، وَإنِّي أُحِبُّ لكَ مَا أُحِبُّ لِنَفسي
“Wahai Abu Dzar, sungguh aku melihatmu adalah orang yang lemah. Maka aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku sendiri.” (HR. Muslim)
Nasehat yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar, beliau jelaskan demikian. Kemudian beliau menyambung:
لا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْن
“Wahai Abu Dzar, jangan sekali-kali engkau menjadi pemimpin untuk dua orang.”
Setiap orang mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Ada sebagian orang yang titik lemahnya adalah ketika menjadi pemimpin, ketika memegang jabatan. Sebagian orang kelemahannya bukan di tahta, tapi ketika berhadapan dengan harta. Sebagian orang lagi titik lemahnya ketika berhadapan dengan wanita (lawan jenis).
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenal karakter sahabat-sahabat beliau. Beliau memahami kelebihan masing-masing dan juga memahami kekurangan masing-masing. Maka ini masyaAllah sebuah hadits yang berbicara tentang kelemahan Abu Dzar tapi disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau mengorbankan -bisa dikatakan- kehormatan beliau karena beliau disebut sebagai orang yang lembah di hadits ini. Tapi beliau tetap menyampaikan hadits ini karena dalam hadits ini ada ilmu yang agung, ada ilmu agama yang harus disampaikan, umat harus tahu tentang hal ini.
Dalam hadits ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang mempraktekkan hadits yang beliau sampaikan. Beliau mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh aku melihatmu sebagai orang yang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku sendiri, maka jangan engkau menjadi pemimpin untuk dua orang (apalagi lebih)” Dua orang saja beliau khawatir akan tidak amanah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan:
وَلا تُوَلَّيَنَّ مَالَ يتِيمٍ
“Jangan juga engkau mengurus harta anak yatim.”
Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat bahwasannya Abu Dzar bukan orang yang cakep untuk mengurus dua hal ini. Maka beliau melarang Abu Dzar untuk berurusan dengan dua hal ini. Tentunya ditengah lautan kelebihan yang dimiliki oleh Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu. Tapi di sini ada kelemahan Abu Dzar yang dideteksi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau memperingatkan Abu Dzar untuk tidak mengurusi dua hal ini sebagai pengamalan dari cinta kepada sesama muslim, cinta kepada sahabat beliau, sebagai implementasi bahwasannya beliau telah mencapai derajat iman yang sempurna. Dan konsekuensinya adalah beliau mencintai untuk sahabat beliau apa yang beliau cintai untuk diri beliau sendiri. Beliau ingin selamat di akhirat. Maka beliau ingin agar Abu Dzar juga selamat di akhirat dengan tidak mengurus dua hal ini.
Jadi hadits ini juga menunjukkan bahwasannya kalau kita mendapati saudara kita ada kekuranga/kelemahan, maka hendaknya kita berusaha meluruskan/memperbaiki, membuat dia lebih baik lagi, termasuk dengan mengingkari kesalahan dia jika dia salah. Karena kita tentunya juga ingin kalau saudara kita selamat di akhirat, ingin hisab dia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berat. Sebagaimana kita juga ingin seperti itu. Kita ingin selamat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita ingin selamat di akhirat. Maka kalau kita mendapatkan saudara kita melakukan suatu kesalahan atau berada pada kondisi yang tidak baik, maka kita berusaha untuk menyelamatkan diri, menegur dia, menasehati dia. Ini termasuk juga poin pembahasan hadits ini.
Hadits ini juga punya pesan tersirat. Kalau pesan tersuratnya adalah kita harus mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri, pesan tersiratnya adalah kita harus membenci untuk saudara kita apa yang kita benci untuk diri kita sendiri. Jadi, kalau kita tidak suka untuk dizalimi, dihina, direndahkan, maka kita tidak boleh melakukan hal itu untuk saudara-saudara. Kita juga harus membenci hal itu untuk saudara kita, jangan lakukan itu kepada saudara kita. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ
“Seorang muslim adalah saudara untuk muslim yang lain. Janganlah dia mendzaliminya, janganlah dia merendahkannya, janganlah dia menghinakannya.” (HR. Muslim)
Ini semua dilarang. Dan ini selaras dengan hadits yang menjadi pembahasan kita hari ini. Kita semuanya tidak suka kalau kita diperlakukan dengan tiga hal tadi itu; didzalimi, direndahkan, dihinakan, kita tidak suka itu. Maka kita juga harus membenci hal itu untuk saudara kita. Tidak boleh kita melakukan hal itu untuk saudara kita sesama muslim.
Juga dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang masyhur dari Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullahu Ta’ala dengan sanad yang shahih. Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘Anhu: Bahwasanya ada seorang pemuda yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian beliau mengatakan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا
“Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.”
Subhanallah, beliau jujur, beliau tidak bisa menyembunyikan gelora muda beliau. Memang anak muda itu syahwatnya sedang kuat-kuatnya. Makanya kalau ada anak muda yang bisa mengontrol imannya, bisa memenangkan iman diatas syahwatnya, bisa memenangkan akal sehat diatas syahwatnya, itu adalah sebuah prestasi yang kemudian orang yang melakukan itu dipuji oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabda beliau:
شاب نشأ في طاعة الله
“Diantara 7 golongan yang akan mendapatkan perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh di atas ketaatan.”
Pemuda yang bisa menaklukkan syahwatnya, pemuda yang bisa mengalahkan syahwatnya dengan kuatnya iman dan akal sehat. Pemuda ini terus terang mengatakan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam minta izin, “Yaa Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.”
Maka para sahabat marah, mengingkari dia dengan keras. Tapi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mereka untuk menyikapi sahabat ini dengan keras. Tapi beliau mengajak pemuda untuk diskusi. Dia katakan, “Apakah engkau rela ibumu dizinai oleh orang lain?” Maka dia mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah.” Dan orang-orang juga tidak rela kalau ibu mereka dizinai. Terus kemudian bertanya lagi, “Apakah engkau rela hal ini terjadi pada anak perempuanmua?” Lagi-lagi sahabat ini mengatakan “Tidak Rasulullah, aku tidak rela kalau putriku dizinai.” Dan tidak ada seorangpun yang rela kalau putrinya dizinai. “Apakah engkau rela jika ini terjadi pada saudarimu? Apakah engkau rela jika hal ini terjadi pada bibimu?” Dan semuanya dijawab oleh pemuda ini dengan mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah, aku tidak rela kalau itu terjadi pada saudariku, bibiku.” Dan orang-orang juga tidak rela kalau itu terjadi pada keluarga mereka.
Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajak pemuda ini untuk menyempurnakan imannya. Beliau mengajak pemuda ini untuk mengamalkan sebuah tanda iman yang sempurna. Yaitu mencintai untuk saudara kita sesama muslim apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri. Dan membenci untuk saudara kita sesama muslim apa yang benci untuk diri kita sendiri.
Kalau kita tidak rela zina itu terjadi pada ibu kita, putri kita, saudari kita, bibi kita, maka bagaimana kita rela hal tersebut terjadi pada ibunya orang lain, putrinya orang lain, saudari orang lain, bibinya orang lain. Dan tidak ada wanita di dunia ini kecuali mereka memiliki salah satu sifat itu. Apakah itu ibunya teman kita, atau dia adalah putri dari salah seorang muslim atau dia adalah saudarai dari muslim nun jauh di sana, dan seterusnya.
Maka kalau kita tidak rela itu terjadi pada keluarga kita, maka kita juga tidak boleh rela hal itu terjadi pada orang lain. Kita harus hindari itu.
Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang pemuda ini dan mendoakannya agar diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diberikan taufik dalam kehidupannya.
Kalau sampai kita tidak mempraktekkan hal ini, maka konsekuensinya adalah kita masih berdosa, kita masih belum memiliki kesempurnaan iman yang wajib, masih ada yang banyak kita perbaiki dalam kehidupan kita. Dan juga celaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Muthaffifin:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾
Wail adalah lembah di jahanam. Menurut penafsiran yang lain dia adalah “celaka”. Untuk siapa? Untuk orang-orang yang mengurangi. Apa maksudnya mengurangi? Ditafsirkan dalam ayat yang selanjutnya:
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾
“Mereka adalah orang-orang yang kalau orang lain menakar untuk mereka, mereka ingin diberikan haknya secara sempurna.” (QS. Al-Mutaffifin[83]: 2)
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ﴿٣﴾
“Tapi kalau giliran mereka yang menakar atau mereka yang menimbang, maka mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin[83]: 3)
Jadi kalau berbicara tentang hak, mereka kuat menuntut, harus penuh, harus lengkap, tidak boleh dikurangi. Tapi ketika berbicara tentang kewajiban mereka seenaknya sendiri, timbangan mereka kurangi, takaran tidak mereka penuhi, hati-hati kalau sampai kita seperti itu. Berarti kita belum mewujudkan sifat mukmin yang tadi itu. Mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri dan membenci untuk mereka apa yang kita benci untuk diri kita sendiri.
Simak penjelasan selanjutnya pada menit ke-27:05
Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 13 – Hadits Tentang Cinta Dan Kesempurnaan Iman
Podcast: Play in new window | Download
Lihat juga: Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu Binniyat
Mari raih pahala dan kebaikan dengan membagikan tautan ceramah agama ini ke Jejaring Sosial yang Anda miliki seperti Facebook, Twitter, Google+ dan yang lainnya. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Anda.
Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com
Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :
Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv
Pencarian: hadits tentang cinta dalam diam, hadist tentang cinta wanita, hadist tentang cinta beserta arabnya, hadist tentang cinta arab, hadist tentang cinta kepada lawan jenis, hadits tentang perasaan, hadist tentang cinta kepada lawan jenis beserta arab dan artinya, hadits tentang mengungkapkan perasaan, hadits tentang cinta kepada sesama muslim, hadits tentang cinta arbain nawawi, hadits tentang cinta dalam Islam.
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48244-hadits-arbain-ke-13-hadits-tentang-cinta-dan-kesempurnaan-iman/